iklan

Jumat, 29 September 2017

Copas: *#HIKMAH

Jumat,29 September 2017
9 Muharam 1439 H
Jadwal Shalat Wajib...

Khazanah Republika

*#Anak Yang Beruntung*

Oleh DR. HASAN BASRI TANJUNG

(Astaghfirullah...)
Ada enam peran orangtua (ayah) agar anak beruntung : pemimpin, tulang punggung, pendidik, teman bermain, dan sahabat.
(Buku Menjadi Muslim Super Dad, Dr. Bunyanul Arifin)

Ada Empat Kriteria Anak Yang beruntung
1. Kehadirannya dinantikan.
Anak yg lahir dari pasangan suami-istri yg saling mencintai, beriman, berilmu, beramal, dan beradab.
Click(QS. Al-Bayyinah/Pembuktian 98:7-8).

Ketika lahir disambut dengan Adzan dan Iqamah, lalu diberi nama yg baik. Dengan tulus ibu menyusui sampai dua tahun.
(QS. Al-Baqarah 2:233)

Ia bak perhiasan dan penyejuk mata.
(QS. Al-Kahf/Pemuda Al-Kahf 18:46 dan Al-Furqon/Pembeda 25:74)

Jika tidak ada, ia dicari. Jika pergi ia dinanti. Jika kembali, disambut sepenuh hati dan diberi rezeki yg halal dan bergizi (baik).
(QS. An-Nahl/Lebah 16:114).

2. Pencapaiannya dibanggakan.
Anak yg beruntung dihargai dan dibanggakan orangtuanya.
(As-Saffat/Yg Bersaf-Saf 37:102).
Walau usia belia, ia tetap ingin diakui di hadapan orang lain. Usahanya belajar mestilah diapresiasi dgn ucapan, sikap, dan tindakan. Jika dibanggakan, ia akan percaya diri.

Orangtuanya berikhtiar sekuat tenaga (tetap melaksanakan shalat) dan berdoa sekuat untuk kejayaannya (QS.Ali Imran/Keluarga Imran 3:38, dan Ibrahim14:40).

3. Pengabdiannya Mengagumkan.
Bagi orangtua tiada yg plg diharapkan dari anak selain bakti, terutama di hari tua.
(QS. Al-Isra'/Memperjalankan.. 17:23-24).
Usia 40 thn mrpkn momentum kesadaran seorang anak utk berbakti krn ia telah merasakan mengasuh anak.
(QS. Al-Ahqaf/Bukit-bukit 46:15).

Berbakti setulus hati (birrul walidain) dan orangtua sempat menikmati hasil jerih payahnya.
Merugilah seorang bila bersama orangtua di usia senja, tapi tidak mengantarnya ke surga.
(HR. Muslim)

4. Kesalehannya Membahagiakan.
Anak yg berbakti akan dirasakan orangtua semasa hidup. Namun, ketaatannya beribadah kepada Allah SWT akan membahagiakan orangtua setelah kematiannya.

Anak yg rajin membaca dan menghafal Al-Qur'an menjadi wasilah mahkota kemuliaan.
(HR. Abu Daud)

Selalu berdoa agar diampuni dan terhindar dari siksaan.
(QS. al-Isra'17:24 dan Nuh 71:28).

Amal kebajikan dan ilmu yg diajarkan tetap dijaga agar pahala terus dialirkan.
(HR. Bukhari).

Menjadi anak yg beruntung adalah anugerah ilahi. Ia dididik dgn sedikit pengajaran, banyak keteladanan dan pembiasaan, lalu ditegakkan aturan dengan kasih dan sayang. Anak yg beruntung krn orangtuanya pun beruntung. Benarlah pesan Rasulullah Saw, untuk berbakti kepada orangtua, agar kelak dianugerahi anak yg berbakti pula.
(HR. At-Tabrani)
Allahu a'lam bishawab.#Copas fb : @eko hersanto
Copas: KARAMAH SHALAWAT BADAR MENGALAHKAN LAGU SIHIR GENJER-GENJER PKI

Shalawat Badar adalah “Lagu Wajib” Nahdlatul Ulama. Berisi puji-pujian kepada Rasulullah ﷺ dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair, dinyanyikan dengan lagu yang khas.

Shalawat Badar digubah oleh Kiai Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember tahun 1960. Kiai Ali Mansur saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama.

Proses terciptanya Shalawat Badar penuh dengan misteri dan teka-teki. Konon, pada suatu malam, Kiai Ali Mansur tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu. Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sajak ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.

Kegelisahan Kiai Ali Mansur berbaur dengan rasa heran, karena malam sebelumnya bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ.

Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhy.”

Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.

Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang kerumahnya sambil mebawa beras, daging, dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu.

Mereka bercerita, bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya.

“Siapa orang yang berjubah putih itu?” Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur tanpa jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa.? Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang kerumah Kia Ali Mansur.

“Alhamdulillah………,” ucap kiai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah para habaib yang sangat dihormati keluaganya.

Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur: “Ya Akhy! Mana Syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!”

Tentu saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karomah yang diberikan ALLAH kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara aneh dan perlu dicurigai.

Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Secara kebetulan Kiai Ali Mansur juga memiliki suara bagus. Ditengah alunan suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannyadengan khusyuk.

Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru. Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan oleh Kiai Ali Mansur, Habib segera bangkit. “Ya Akhy….! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar…!” serunya dengan nada mantap.

Setelah Habib Ali memimpin doa, lalu rombongan itu mohon diri. Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI. Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan.

والله أعلمُ بالـصـواب
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

TEKS SHOLAWAT BADAR :
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
Shalaatullaah Salaamul laah ‘Alaa Thaaha Rasuulillaah
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Shalaatullaah Salaamullah ‘Alaa Yaa Siin Habiibillaah
تَوَ سَـلْنَا بِـبِـسْـمِ اللّهِ وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ
Tawassalnaa Bibismi llaah Wabil Haadi Rasuulillaah
وَ كُــلِّ مُجَـا هِـدِ لِلّهِ بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
اِلهِـى سَـلِّـمِ اْلاُمـَّة مِـنَ اْلافـَاتِ وَالنِّـقْـمَةَ
llaahi Sallimil Ummah Minal Aafaati Wanniqmah
وَمِنْ هَـمٍ وَمِنْ غُـمَّـةٍ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wamin Hammin Wamin Ghummah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
اِلهِى نَجِّـنَا وَاكْـشِـفْ جَـمِيْعَ اَذِ يـَّةٍ وَا صْرِفْ
Ilaahi Najjinaa Waksyif Jamii’a Adziyyatin Wahrif
مَـكَائـدَ الْعِـدَا وَالْطُـفْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Makaa idal ‘idaa wal thuf Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
اِلهِـى نَـفِّـسِ الْـكُـرَبَا مِنَ الْعَـاصِيْـنَ وَالْعَطْـبَا
llaahi Naffisil Kurbaa Minal’Ashiina Wal’Athbaa
وَ كُـلِّ بـَلِـيَّـةٍ وَوَبـَا بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakulli Baliyyatin Wawabaa Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
فَكَــمْ مِنْ رَحْمَةٍ حَصَلَتْ وَكَــمْ مِنْ ذِلَّـةٍ فَصَلَتْ
Wakam Min Rahmatin Washalat Wakam Min Dzillatin Fashalat
وَكَـمْ مِنْ نِعْمـَةٍ وَصَلَـتْ بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakam Min Ni’matin Washalat Bi Ahlil Bailri Yaa Allaah
وَ كَـمْ اَغْـنَيْتَ ذَالْعُـمْرِ وَكَـمْ اَوْلَيْـتَ ذَاالْفَـقْـرِ
Wakam Aghnaita Dzal ‘Umri Wakam Autaita D’Zal Faqri
وَكَـمْ عَافَـيـْتَ ذِاالْـوِذْرِ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakam’Aafaita Dzal Wizri Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
لَـقَدْ ضَاقَتْ عَلَى الْقَـلْـبِ جَمِـيْعُ اْلاَرْضِ مَعْ رَحْبِ
Laqad Dlaaqat’Alal Oalbi Jamii’ul Ardli Ma’ Rahbi
فَانْـجِ مِنَ الْبَلاَ الصَّعْـبِ بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Fa Anji Minal Balaas Sha’bi Bi Ahlil Badri Yaa A,llaah
ا َتَيـْنَا طَـالِـبِى الرِّفْـد وَجُـلِّ الْخَـيْرِ وَالسَّـعْدِ
Atainaa Thaalibir Rifdi Wajullil Khairi Was Sa’di
فَوَ سِّـعْ مِنْحَـةَ اْلاَيـْدِىْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Fawassi’ Minhatal Aidii Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
فَـلاَ تَرْدُدْ مَـعَ الْخَـيـْبَةْ بَلِ اجْعَلْـنَاعَلَى الطَّيْبـَةْ
Falaa Tardud Ma’al Khaibah Balij’Alnaa’Alath Thaibah
اَيـَا ذَاالْعِـزِّ وَالْهَـيـْبَةْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Ayaa Dzal ‘lzzi Wal Haibah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
وَ اِنْ تَرْدُدْ فَـمَنْ نَأْتـِىْ بِـنَيـْلِ جَمِيـْعِ حَاجَا تِى
Wain Tardud Faman Ya-Tii Binaili Jamii’i Haajaati
اَيـَا جَـالِى الْمُـلِـمـَّاتِ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Ayaa jalail mulimmaati Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
اِلهِـى اغْفِـرِ وَاَ كْرِ مْنَـا بِـنَيـْلِ مـَطَا لِبٍ مِنَّا
llaahighfir Wa Akrimnaa Binaili Mathaalibin Minnaa
وَ دَفْـعِ مَسَـاءَةٍ عَـنَّا بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wadaf i Masaa-Atin ‘Annaa Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
اِلهِـى اَنـْتَ ذُوْ لُطْـفٍ وَذُوْ فَـضْلٍ وَذُوْ عَطْـفٍ
llaahii Anta Dzuu Luthfin Wadzuu Fadl-Lin Wadzuu ‘Athfin
وَكَـمْ مِنْ كُـرْبـَةٍ تَنـْفِىْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wakam Min Kurbatin Tanfii Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
وَصَلِّ عَـلَى النـَّبِىِّ الْبَـرِّ بـِلاَ عَـدٍّ وَلاَ حَـصْـرِ
Washalli ‘Alan Nabil Barri Bilaa ‘Addin Walaa Hashri
وَالِ سَـادَةٍ غُــــرِّ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ
Wa Aali Saadatin Ghurri Bi Ahlil Badri Yaa Allaah
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
(Semoga bangsa Indonesia diselamatkan dari bahaya Komunisme dengan wasilah Ahlul Badr Aamiin)

🌿🌹💐🌻🌾🌿🌹💐#Copas

Jumat, 22 September 2017

Bissmillah..

Siapa saja yang hendak menunaikan hajatnya, buang air besar atau air kecil, maka hendaklah ia mengikuti 10 adab berikut ini. Semoga bermanfaat.

Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,beliau berkata,.“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”

Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,     “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32) Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.” Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah" Syaikh Abu Malikha fizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”

Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa bangunan. Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di saat melucuti pakaiannya. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,   “Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah” Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan:Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan). ”An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan.”Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”,boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minalkhubtsiwal khobaits(denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi(dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi(dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat Jadi, cara baca dengan khubtsi(dengan ba’ disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.

Keempat: Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, maka kita dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan. Sebagaimana terdapat dalam hadits, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap  perkara (yang baik-baik).” Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika.” Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.”

Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabishallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, َ“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam. Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, “Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.” Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.1.Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya.
2.Perkataan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.
3.Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini. Simpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah haram secara mutlak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat.

Keenam: Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, .“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.” Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan marwah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas. Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada AllahTa’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat.Wallahu a’lam.”

Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabis hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.”

Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.” Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.” Dari sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.

Kesembilan:Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok), di antaranya sebagai berikut. 1.Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.”       2.Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq. Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’.” Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.” 3.Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh, lalu setelah itu beliau memerciki kemaluannya.” Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat: [1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan barang berharga seperti uang atau makanan.Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.

Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).” Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”

Demikian beberapa adab ketika buang hajat Semoga Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal yang sholih untuk kita.

#dalamSunnahAdaKejayaan