iklan

Minggu, 27 Maret 2011

Pak Menteri dan Pak Gubernur: Tolong Hapuskan Kasta Sekolah

Minggu, 27/03/2011 09:33 WIB
Andrian - suaraPembaca



Jakarta - Saat tahun ajaran baru tiba, perjuangan anak – anak orang miskin sangatlah melelahkan dan memusingkan yaitu untuk mendapatkan bangku di sekolah favorit. Bukan hanya persoalan repotnya mencari sekolah, namun juga biaya masuk yang mahal. Para siswa harus membayar SPP, uang gedung dan uang seragam yang sangat mahal. Untuk SMP negeri favorit, uang gedung bisa mencapai 6 hingga 20 juta rupiah.

Mahalnya uang gedung, menurut pihak sekolah adalah untuk membangun berbagai fasilitas bagi peningkatan mutu pendidikan. Apalagi murid-murid SMP dan SMU negeri di Jakarta harus bersaing dengan anak - anak SMU swasta yang fasilitasnya jauh lebih baik dan canggih. Besaran uang SPP, SMU Negeri di DKI Jakarta berkisar antara 300 hingga 350 ribu rupiah perbulan. Sementara besaran uang gedung ditentukan oleh Komite Orangtua dan Komite Sekolah masing-masing SMU maupun SMP.

Bersekolah di sekolah negeri favorit, para orang tua haruslah memiliki dana yang lebih untuk kebutuhan anak - anak mereka. Setidaknya setiap bulan, para orang tua harus menyediakan dana 1,5 hingga 2 juta rupiah untuk biaya transport, uang jajan dan biaya berbagai macam kursus.

Bagi Departemen Pendidikan, pungutan pihak sekolah diluar program wajib belajar 9 tahun adalah wajar dan sah dan bukan pungutan liar. Namun demikian penetapan biaya pendidikan di bangku tingkat Menengah Atas oleh Komite Sekolah dan Komite Orangtua murid haruslah dilandasi pada azas "musyawarah dan kekeluargaan".

Karena tidak semua orangtua murid di DKI Jakarta adalah orang yang mampu, kini banyak anak-anak yang berprestasi dan layak masuk sekolah favorit namun karena orang tua miskin maka pupus sudah harapan untuk masuk ke sekolah favorit tersebut.

Mereka tidak punya biaya untuk uang gedung, uang fasilitas dan uang lainnya, bahkan untuk membayar SPP saja mereka harus banting tulang dan hutang sana - sini. Biaya sekolah selalu menjadi persoalan tersendiri bagi para orangtua yang miskin. Meskipun pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar dan memberikan SPP sekolah gratis kepada murid SD dan SMP, namun tetap saja banyak orangtua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya.

Di sebuah SMA Negeri di pinggiran Jakarta Timur, siswa baru harus membayar uang pangkal yang disebut IPDB (iuran peserta didik baru) hingga Rp3,6 juta dan iuran bulanan yang dulu disebut SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) sebesar Rp200 ribu. Selain itu, masih ada biaya-biaya lain seperti Rp650 ribu per tahun dengan istilah uang PM dan Rp250 ribu per tahun untuk kegiatan tahunan yang tidak jelas serta uang komputer, uang buku, uang AC dan lain-lain.

Sementara di sekolah SMA Negeri favorit, para siswa baru bahkan harus membayar IPDB Rp12,5 juta dan iuran bulanan Rp400 ribu, belum termasuk biaya lainnya yang mengharuskan orangtua bekerja ekstra keras atau juga mengharuskan orang tua berutang sana-sini agar anaknya bisa tetap bersekolah.

Berdasarkan data Pusat Pengkajian Jakarta (PPJ), pada tahun 2008 di wilayah DKI Jakarta terdapat 676 anak SD yang putus sekolah dan 137 ribu murid dari kalangan kurang mampu atau 16,2 persen dari total 843.939 seluruh murid SD baik yang bersekolah SD negeri maupun swasta.

Sementara untuk SMP, terdapat 1004 siswa putus sekolah dan 22.104 siswa kurang mampu atau sekitar 6,3 persen dari jumlah siswa SMP di seluruh DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 346.862 murid. Pada prakteknya memang tidak mudah membebaskan seluruh biaya pendidikan di tingkat Sekolah Dasar hingga sekolah lanjutan menengah atas.
Untuk meringankan masyarakat miskin, pemerintah juga mengucurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD dan SMP.

Pada tahun 2008 nilainya mencapai 11,2 triliun rupiah. Namun BOS berjalan, anak putus sekolah karena faktor kemiskinan pun meningkat, sebenarnya siapa sih yang berhak menikmati dana BOS ini?.
Pendidikan di DKI ini masih sangat mahal, sehingga tidak memungkinkan anak-anak dari masyarakat miskin untuk bersekolah.

Anak miskin seharusnya bisa bersekolah di sekolah negeri (favorit pun), tetapi kenyataan yang ada, sekolah negeri pun bukan untuk orang miskin. Orang tua – orang tua miskin yang berprofesi sebagai tukang becak, buruh pabrik, petani gurem, pedagang kaki lima, atau petugas kebersihan sepertinya hanya bisa bermimpi agar anaknya kelak lebih beruntung dari mereka, karena menyekolahkan anaknya ke SMA butuh uang yang sangat banyak.

Sekolah memang mahal, diakui juga oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto. Ia mengatakan bahwa, “Biaya untuk memperoleh pendidikan memang mahal, apa lagi jika ingin kualitas pendidikan baik dan tidak sekedar berstandar lokal. Biaya pendidikan siswa SD dan SMP yang gratis bukan berarti biaya pendidikan berarti murah, tetapi sebagai gantinya APBN dan APBD-lah yang membayarkannya.”

Mahalnya biaya pendidikan SMA Negeri di Jakarta disinyalir sebagai kesalahan Pemprov DKI yang menyerahkan begitu saja semua keputusan soal standar biaya pendidikan ke sekolah dan tidak tegas terhadap sekolah yang mengenakan biaya tinggi kepada siswanya. Anggota Komite Sekolah, seringkali dipilih dari wali-wali murid yang kaya, sehingga suara orang tua yang miskin menjadi suara yang kalah. Komite Sekolah terkesan mendapat pesanan dari sekolah, bahkan pendidikan gratis pendidikan wajar ternyata sekedar slogan, karena wali murid harus tetap membayar dalam bentuk lain misalnya uang AC.

Triwisaksana dalam sebuah pertemuan dengan warga Pancoran mengatakan bahwa saat ini yang banyak masuk ke sekolah – sekolah favorit di Jakarta adalah mereka – mereka yang punya uang, anak orang miskin yang berprestasi sangat jarang ditemui di sekolah – sekolah favorit tersebut. Wakil ketua DPRD itu pun bersemangat untuk memperjuangakan agar anak – anak miskin yang berprestasi dapat masuk ke sekolah – sekolah favorit dapat lebih banyak lagi.

Semua pihak sudah seharusnya memiliki empati pada pendidikan yang merata bagi semua rakyat khususnya rakyat miskin dan karena itu pendidikan harus lebih murah dan dapat diakses orang miskin. Semua pihak juga harus punya konsep pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan bangsa, sehingga menghindari komersialisasi pendidikan, tambahnya. Mari kita hilangkan kasta yang ada dalam pendidikan di sekolah – sekolah (negeri) kita.


Andrian
Pancoran, Jakarta Selatan
asus09@gmail.com
089684003065
sumber : detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar