(Foto: gettyimages)
ANEMIA merupakan masalah gizi utama di dunia terutama negara berkembang, yang dapat terjadi di semua tahapan usia. Sekira 50 persen anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi, tapi ternyata ada penyebab lain.
Defisiensi zat besi dapat terjadi tanpa adanya anemia. Penyebab anemia lainnya adalah penyakit infeksi, seperti malaria, kecacingan, dan defisiensi zat gizi mikro kunci, seperti asam folat, vitamin B12 dan vitamin A, atau penyakit yang diturunkan seperti tahalassaemia.
Usaha penanggulangan anemia telah dilakukan selama lebih dari dua dasawarsa. Asumsi bahwa defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia dan kegagalan untuk menangani penyebab lainnya secara tepat merupakan salah satu alasan kurang suksesnya upaya penanggulangan anemia.
Program intervensi zat besi kebanyakan ditujukan bagi ibu hamil, padahal diketahui bahwa kebutuhan zat besi selama hamil tidak terdistribusi secara merata dan terdapat keterbatasan tubuh dalam menyerap asupan zat besi meskipun diet optimal. Berdasarkan banyak telaah, di antaranya dilakukan peneliti Min Kyaw Htet asal Myanmar, ternyata terbukti bahwa infeksi memperburuk status gizi.
“Banyak faktor penyebab anemia, bukan hanya masalah pemberian dan penyerapan zat besi, karena ternyata kondisi tubuh sangat penting, antara lain adalah inflamasi,” kata Prof dr Arwin Ali Purbaya Akib SpA(K) usai menguji sidang desertasi Min Kyaw Htet di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (6/7/2011).
Inflamasi dimaksud tidak harus dalam bentuk yang berat seperti infeksi pada penderita malaria atau kecacingan. Orang sehat sekalipun bisa terkena infeksi, dinamakan kondisi sub-clinical inflammation(SCI).
“SCI terjadi pada orang yang terlihat sehat. Belum tentu inflamasi adalah infeksi, tapi inflamasi selalu menimbulkan infeksi. Inflamasi pada dasarnya adalah reaksi tubuh yang memicu peradangan, bisa oleh bakteri, parasit, dan sebagainya. SCI saja sudah berpengaruh pada anemia, apalagi ada inflamasi. Inflamasi terbukti membawa pengaruh pada intake zat besi yang semestinya mampu meningkatkan HB (hemoglobin-red),” paparnya.
“Penelitian Min dilakukan di Birma dan Kepulauan Seribu didapat kenyataan bahwa kondisi lingkungan seperti ini ternyata ada inflamasi. Anemia terjadi banyak di seluruh dunia, lebih banyak pada negara berkembang. Program dibuat, tapi HB tetap banyak, ternyata kegagalannya karena banyak di antara kita dalam keadaan SCI. Dalam kadar tertentu, SCI memberikan gangguan untuk perbaikan anemik, tentu dengan pengaruh lainnya,” lanjutnya.
Tingginya kasus anemia walaupun dengan pemberian suplementasi zat besi, bisa disimpulkan bahwa inflamasi dapat menghambat efektivitas pemberian suplementasi.
“Jadi rekomendasinya, berikan juga vitamin A dan folic acid. Pencapaiannya lebih bagus dalam mengatasi anemia. Penelitian Min dilakukan pada anak sekolah, tapi kita harapkan hasilnya akan sama dan terbukti pada semua orang,” tukasnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar