iklan

Senin, 09 April 2012

Keteguhan seorang Istri


Keteguhan seorang Istri
oleh Strawberry pada 9 April 2012 pukul 15:10 ·

Barangsiapa yg mengharapkan mati syahid dgn sepenuh hati, maka ALLAH akan memberikanmati syahid kepadanya meskipun ia mati ditempat tidur (hadis).

Dunia hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang tahu rentangusia seorang manusia.

Saya, Khadijah sebut saja demikian, menikah dengan Muhammad, 3 Oktober 1993.Muhammad adalah kakak kelas saya di IPB. Selama menikah, suami sering mengingatkansaya tentang kematian, tentang syurga, tentang syahid, dan sebagainya. Setiap kamibicara tentang sesuatu, ujung2nya bicara tentang kematian dan indahnya syurga itubagaimana. Kalau kita bicara soal nikmatnya materi, suami mengaitkannya dengankenikmatan syurga yang lebih indah. Bahkan, berulang-ulang dia mengatakan, nantikita ketemu lagi di syurga. Itu mempunyai makna yg dalam bagi saya.



Hari itu, 16 Januari 1996, kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suamimengembalikan saya kepada orang tua. Malam itu juga, suami saya mengatakan haruskembali ke Bogor, karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalauberangkat pagi dari Jakarta khawatir terlambat.

Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat dinginmengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk diobati. Saya kiramaag saya kambuh. Saya sempat berpikir suami saya di sana sudah istirahat, sudahsenang, sudah sampai karena berangkat sejak maghrib. Saya juga berharap kalau adasuami saya mungkin saya dipijitin atau bagimana. Tapi rupanya pada saat itulahterjadi peristiwa tragis menimpa suami saya.

Jam tiga malam, saya terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa, meskipun badankurang sehat, saya ingin ngaji. Lama sekali saya menghabiskan lembar demi lembarmushaf kecil saya. Waktu shubuh rasanya lama sekali. Badan saya sangat lelah danakhirnya tertidur hingga subuh. Pagi harinya, saya mendapat berita dari seorangakhwat di Jakarta, bahwa suami saya dalam kondisi kritis. Karena angkutan yangditumpanginya hancur ditabrak truk tronton di jalan raya Parung. Sebenarnya waktuitu suami saya sudah meninggal. Mungkin sengaja beritanya dibuat begitu biar sayatidak kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang teman di Jakarta yangmemberitahukan bahwa beliau sudah meninggal. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.

Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri tidakmenyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan bahwa suami saya matisyahid. Saya bisa menasihati keluarga dan langsung ke Bogor. Disana, suami sayasudah dikafani. Sambil menangis saya menasihati ibu, bahwa dia bukan milik kita.Kita semua bukan milik kita sendiri tapi milik ALLAH.

Alhamdulillah ALLAH memberi kekuatan. Kepada orang2 yang bertakziah waktu itu, sayamengatakan : “Doakan dia supaya syahid.. doakan dia supaya syahid”. Sekali lagiketabahan saya waktu itu semata datang dari ALLAH, kalau tidak, mungkin saya sudahpingsan.

Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus ditunaikan. Meskitidak ada catatannya, tapi tanpa disadari, saya ingat sekali hutang2 suami. Sayamemang sering bercanda sama suami, “Mas kalau ada hutang, catat. Nanti kalau Masmeninggal duluan saya tahu saya harus bayar berapa.” Canda itu memang se! ringmuncul ketika kami bicara masalah kematian. Sampai saya pernah bilang pada suamisaya, “kalau mas meninggal duluan, saya yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan,saya kembali lagi ke ummi, jadi anaknya lagi.” Semua itu akhirnya menjadi kenyataan.

Beberapa hari setelah musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan di Bogoruntuk mengurus surat2. Saat saya buka pintunya, tercium bau harum sekali. Hampirseluruh ruangan rumah itu wangi. Saya sempat periksa barangkali sumber wangi itu adapada buah-buahan, atau yang lainnya. Tapi tidak ada. Ruangan yg tercium palingwangi, tempat tidur suami dan tempat yg biasa ia gunakan bekerja.

Beberapa waktu kemudian, dalam tidur, saya bermimpi bersalaman dengan dia. Saya ciumtangannya. Saat itu dia mendoakan saya: “Zawadakillahu taqwa waghafara dzanbaki, wayassara laki haitsu ma kunti” (Semoga Allah menambah ketakwaan padamu, mengampunidosamu, dan mempermudah segala urusanmu di manasaja). Sambil menangis, saya balasdoa itu dengan doa serupa.

Semasa suami masih hidup, doa itu memang biasa kami ucapkan ketika kami akanberpisah. Saya biasa mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah. Ketika kamisaling mengingatkan, kami juga saling mendoakan.

Banyak doa-doa yang diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya menulis doadi white board. Sampai sekarang saya selalu baca doa itu. Anak saya juga hafal. Sayabanyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling baik. Dia juga bisa menjelaskanbagaimana indahnya syurga. Bagaimana indahnya syahid.

Waktu saya wisuda, 13 Januari 1996 saya sempat bertanya pada suami, “Mas nanti sayakerja di mana?” Suami diam sejenak. Akhirnya suami saya mengatakan supaya wanita itumemelihara jati diri. Saya bertanya, “Maksudnya apa?”, “Beribadah, bekerja membantusuaminya, dan bermasyarakat”. Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah tanggadengan baik. Tidak usah memikir! kan pekerjaan. Sekarang, setiap bulan saya hidupdari pensiun pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya merasa cukup. Danrejeki dari ALLAH tetap saja mengalir. ALLAH memang memberi rejeki pd siapa saja,dan tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah meski suami saya tidak ada,tapirejeki ALLAH itu tidak akan pernah habis.

Insya ALLAH saya optimis dengan anak2 saya. Saya ingat sabda Nabi : “Aku danpengasuh anak yatim seperti ini”, sambil mendekatkan kedua buah jari tangannya. Sayabukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim. Meski masih kecil-kecil, sayasudah merasakan kedewasaan mereka. Kondisi yang mereka alami, membuat mereka lebihcepat mengerti tentang kematian, neraka, syurga bahkan tentang syahid. Rezeki ygsaya terima, tak mustahil lantaran keberkahan mereka.

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/
Sumber  :  KembangAnggrek2.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar