Selamat Jalan Permataku
oleh Strawberry pada 26 April 2012 pukul 12:23 ·
“Dan aku akan menguji kamu sekalian dengan suatu cobaan, supaya dengan cobaan itu dapat terbukti siapa di antara kamu sekalian yang berjuang dan siapa yang sabar.” (QS. Muhammad: 31).
Aku dan istriku adalah keluarga yang bahagia, banyak rizki dan penuh rahmat. Hampir enam tahun kami menikah dan selama itu pula kami hidup bahagia tanpa cekcok dan pertengkaran. Apalagi sejak kami tahu bahwa Allah akan memberikan adik bagi Amalia Fauziah Rohmah, anak pertama kami. Sembilan bulan kemudian kami sibuk dengan segala persiapan untuk menyambut kelahiran anak ke-2 kami, mulai dari nama, ranjang bayi, popok dan lainnya. Menurut hasil USG jenis kelaminnya adalah laki-laki. Kami pun sudah mempersiapkan nama, Muhammad Syarif Salahuddin Rasyid.
Sampai akhirnya tiba hari melahirkan bagi istriku. Saat itu, Senin malam tanggal 20 Agustus 2001, istriku merasa perutnya mulai kejang. Pagi harinya ia kontrol ke rumah sakit. Dokternya menyarankan agar hari itu juga istriku masuk ke ruang persalinan, karena perkiraan melahirkan sudah lewat 10 hari. Namun istriku minta ditunda sampai hari Rabu karena akan bicara dulu denganku. Akhirnya, tiba juga hari yang mendebarkan bagiku sebagai seorang ayah. Rabu pagi kuantar istriku ke rumah sakit dengan membawa barang untuk persiapan melahirkan. Lalu aku kembali ke karena dokter rupanya baru akan memasukkan obat pemacu kelahiran pada sore harinya.
Sore aku kembali ke rumah sakit. Ibu mertua dan saudara-saudara iparku sudah di sana lebih dulu. Kata istriku, obat pemacunya sudah disuntikkan dan ia baru saja selesai salat Isya. Namun saat akan
kembali lagi ke tempat tidur, tiba-tiba air ketubannya pecah. Oleh tim medis persalinan dipasanglah alat rekam jantung janin. Alhamdulillah janin dalam keadaan normal.
Istriku mulai merasa sangat kesakitan. Aku hanya dapat membelai rambutnya, memijit pelan punggungnya sambil memberikan dorongan untuk sabar dan bertawakal. Selamat beberapa jam, kami dibiarkan berdua saja, tanpa bantuan medis. Barulah sekitar jam 10 malam, muncul 2 bidan dan beberapa dokter Ko-As. Bersama ibu mertua dan para ipar, aku pun menunggu di luar ruangan persalinan. Yang mengejutkan, jam 12 malam, dokter Ko-As berlari dan menggedor pintu dokter. Tak lama, dokter wanita berlari ke ruang persalinan dan istriku dikeluarkan dari ruang persalinan.
Awalnya kami mengira istriku sudah melahirkan dan akan dipindahkan ke bangsal. Tetapi, alangkah kagetnya saat aku disodorkan surat persetujuan untuk melakukan operasi. Setelah beberapa menit duduk di ruang tunggu, salah satu tim medis memintaku untuk mencari darah donor ke PMI sambil memberikan contoh darah istriku. Sekitar satu jam kemudian barulah aku memperoleh darah yang dibutuhkan itu. Sekitar jam 2 dini hari, dokter wanita yang menangani istriku memberikan penjelasan bahwa bayiku tidak bisa diselamatkan. Malahan dia meminta persetujuanku agar kandungan istriku juga diangkat karena perdarahan tidak bisa berhenti.
Sambil berusaha untuk tabah aku setuju. Perasaanku sebagai ayah dan suami berkecamuk. Anak laki-lakiku tidak bisa tertolong, kandungan istriku harus diangkat pula. Tetapi apa yang dapat kulakukan kecuali sabar, pasrah, dan bertawakal?
Ujian Allah ternyata belum berakhir. Meskipun kandungan istriku telah diangkat dan ia telah dipindahkan di ruang ICU, perdarahan belum juga berhenti. Lima orang petugas ICU bekerja keras menangani istriku yang mengalami perdarahan hebat. Pernafasannya istriku pun mulai melemah, sehingga harus dibantu dengan alat pemompa. Kutunggui isteriku terus menerus. Bahkan, pemakaman anakku pun tak sempat kuikuti.
Hampir 4 jam penuh tim medis ICU bekerja keras menangani kondisi istriku. Untuk mengimbangi banyaknya darah yang keluar, darah donor dipompakan ke dalam tubuh istriku. Tempat tidur dan lantai sekitar pembaringannya kini berubah merah. Sekitar jam 8 pagi, tim medis memberitahu bahwa mereka akan melakukan pembedahan ulang untuk mencari penyebab perdarahan hebat tersebut.
Satu jam kemudian istriku kembali terkulai di kamar operasi siap dibedah ulang. Tetapi karena lemahnya kondisi istriku, tim dokter tidak berani melakukannya. Akhirnya istriku dibawa lagi ke ruang ICU.
Perdarahan belum juga terhenti, padahal tim medis ICU sudah kelihatan letih. Ba’da maghrib aku diberi tahu bahwa mereka telah berusaha keras menangani perdarahan istriku dengan segala daya meski belum berhasil.
Malam pun larut. Aku membaca surat Yasin di samping istriku. Aku tahu istriku sadar dan mendengarkan bacaan itu, meski kondisi tubuhnya tidak memungkinkannya berkomunikasi. Tangan istriku mencari-cari suaraku, lalu kugenggam tangannya sambil terus aku bacakan Yasin. Itulah bacaan Yasin tersedih dalam hidupku, sampai-sampai saudara- saudaraku menangis tersedu-sedu. Apalagi ketika sampai pada lantunan doa Allahumma hawin `alaina fi-syakarotil maut, tanpa sadar aku melelehkan air mata.
Hari terus berlalu, usaha tim dokter ICU sudah maksimal, Yasin dan doa telah kami lantunkan, tapi kondisi istriku semakin memburuk.Akhirnya aku tidak lagi memohon kesembuhan, tetapi memohon pada Allah agar diberikan jalan terbaik.
Rupanya, hati dan ginjal istriku tidak kuat menetralkan 100 botol darah donor yang masuk ke tubuhnya. Tes hati dan ginjal semakin lama mengarah pada kegagalan kedua organ itu. Tanggal 2 September 2001, istriku menutup mata untuk selama-lamanya.
Selamat jalan istriku, selamat jalan anakku. Semoga Allah senantiasa memberikan kebahagiaan tiada tara di alam selanjutnya. Sesungguhnya segalanya kepunyaan milik Allah, dan hanya kepada Allah-lah segalanya
akan kembali.
Sumber: Penulis: Choirul Amri, S.TP *Staf Pengajar Politeknik Kesehatan Yogyakarta dan Analis Laboratorium RSKB Patmasuri Yogyakarta, sebagaimana dimuat di Majalah Ummi.
Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/
Sumber : KembangAnggrek2.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar