dakwatuna.com – Toronto. Tiga Muslimah terkejut saat mendengar teriakan keras seorang perempuan kulit putih berambut pirang. Tidak terdengar jelas, lantaran suara perempuan itu terhempas kereta bawah tanah yang tengah melintas.
“Kalian harus menentang orang-orang dalam agama kalian, terutama para imam, untuk menghormati kaum perempuan,” kira-kira begitulah suara yang terdengar.
Umpatan perempuan itu tidak direspon secara langsung oleh tiga Muslimah tadi. Namun segera muncul perbincangan menarik di antara ketiganya. “Islam menghormati perempuan. Kami tidak terlalu peduli dengan omong kosong itu,” ujar salah seorang dari mereka, Gehad El Sayed, mahasiswa farmasi University of Toronto.
Bagi Gehad, jilbab adalah bagian dari identitasnya. Tak ubahnya sepasang sepatu. “Saat mengenakan jilbab, aku tidak berhenti main sepak bola dan voli. Aku bergaul dengan semua orang, dan tidak terjebak di kotak pandora,” katanya, sebagaimana dilansir Thestar.com, Senin (3/10).
Ambren Syed, Muslimah lainnya, mengaku sempat ragu untuk mengenakan jilbab. Namun bagi keluarganya yang merupakan imigran dari Banglore, mengenakan jilbab adalah tradisi. “Awalnya, aku takut dengan reaksi orang sekitar. Dapatkah aku hidup dengan jilbab, bisakah aku mencintainya,” kenang gadis 24 tahun ini.
Ambren menyayangkan perhatian orang yang berlebihan terhadap jilbab. Sebab baginya, perhatian itu merupakan bentuk lain rasisme. “Aku memutuskan memakai jilbab sebagai bentuk perlawanan dan kebebasan berekspresi. Aku ingin diidentifikasi sebagai seorang Muslim,” tegasnya.
Seiring berjalannya waktu, Ambren merasakan betul manfaat berjilbab. Suatu hari, saat berusia 14 tahun, ia selamat dari pelecehan seorang laki-laki tak dikenal. “Malah mereka yang takut denganku,” tuturnya.
Manfaat lain, ungkap Syed, ia merasa cantik. “Tak kusangka jilbab membuatku terlihat cantik. Sangat menyenangkan.”
Namun pengalaman menyenangkan tidak melulu dialami Ambren. Ia sempat dikucilkan teman-temannya saat kuliah dulu. Tapi itu masa lalu. Kini ia begitu dihormati, walau masih ada saja yang mencemooh.
Lain lagi kisah, Sahare Amor, warga Oakville. Ia mengenakan jilbab saat berusia 17 tahun, tepatnya 1 Januari 2009. Saat itu, ia terinspirasi—untuk berjilbab—oleh seorang aktris Mesir, Hanan Turk.
“Dia sangat terkenal di Mesir, cantik dan memiliki segalanya. Suami, anak-anak dan membintangi banyak film. Dia sangat menikmati hijabnya. Itu yang membuatku berpikir tentang keadaanku,” kenangnya.
Inspirasi lain Sahare datang dari ibunya, Sanaa, yang mulai mengenakan jilbab pada usia 40 tahun. “Hal ini mengingatkanku bahwa aku tidak berada di negara Muslim. Aku harus menjaga keimanan dan menunjukkan keislamanku,” kata gadis kelahiran Maroko ini.
Bagi Sahare, jilbab adalah soal hubungannya dengan Tuhan. “Aku merasa lebih dekat dengan-Nya ketika berjilbab. Ini yang membuatku sadar bahwa Dia di mana-mana, dan tahu segalanya,” ujar mahasiswi McMaster University yang jago taekwondo ini.
Gadis yang fasih berbahasa Prancis ini percaya bahwa perempuan dihormati karena agamanya. “Perempuan itu seperti berlian. Kau dapat melihat mereka di kotak kaca, namun tidak setiap orang bisa menyentuhnya,” kata Sahare.
Lain lagi cerita Sophia Shiddiqi. Ia mulai mengenakan jilbab saat berusia 25 tahun. “Saya lahir dan dibesarkan dalam budaya dan sistem sekolah di mana saya mengajar kini. Tapi saya Muslim dan warga Kanada,” tukasnya.
Tahun 2006 merupakan kilas balik bagi Sophia—ketika ia, suami dan mertuanya berangkat umrah ke Makkah. “Selama tiga pekan di sana, kehidupan kami hanya berkisar antara shalat dan ibadah. Makkah adalah tempat yang indah dan paling damai di dunia,” ujarnya.
Dari situlah Sophia mulai yakin untuk membuat keputusan penting dalam hidupnya, mengenakan jilbab. (Chairul Akhmad/Agung Sasongko/RoL)
SUMBER : Sudah Tahukah Anda ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar