iklan

Kamis, 12 Mei 2011

Ketika Anak Menilai Orangtua Pilih Kasih

Selasa, 10 Mei 2011 - 15:23 wib
Fitri Yulianti - Okezone

(Foto: gettyimages)

SETIAP orangtua ingin memberi perhatian sama besar kepada anak-anaknya. Niat demikian ternyata tidak selamanya diterima baik oleh anak dan menilai orangtua pilih kasih.

Kebutuhan anak usia 1-6 tahun jelas berbeda dengan 7-12 tahun dalam berbagai aspek, di antaranya fisik, pola pikir, emosi, dan sosial. Anak 1-6 tahun secara fisik masih canggung dan belum sempurna dibandingkan anak 7-12 tahun. Secara pola pikir, anak 1-6 tahun baru bisa menerima sebuah ide konkrit dan sederhana berbeda dengan anak 7-12 tahun yang bisa menerima ide rumit dan abstrak. Sebagai contoh, Moms menyuruh mereka minum susu. Kepada si kecil, Moms harus mendampinginya sementara pada anak usia 7-12 tahun, Moms cukup mengingatkannya sambil tetap beraktivitas.

Dari sudut sosial, anak 1-6 tahun memusatkan perhatian pada diri sendiri sedangkan usia 7-12 tahun sudah lebih tertarik dengan keadaan di luar diri. Dan dari aspek emosi, anak 1-6 tahun belum mahir mengontrol emosi, misal mereka cenderung berguling-guling ketika memaksakan suatu keinginan, berbeda dengan anak 7-12 tahun yang lebih dapat mengendalikan emosi dan memahami keinginannya. Perbedaan inilah yang kerap melahirkan perbedaan perlakuan orangtua pada anak.

Masalahnya, anak kerap menilai tindakan orangtua sebagai pilih kasih. Tak ayal bila akhirnya terjadi pertengkaran antara kakak dan adik; kakak menilai orangtua membatasi keinginan dan lebih mementingkan kebutuhan adik.

“Mestinya tidak seperti ini. Bila kita tahu bahwa apa yang diberikan ke anak berbeda, maka kita harus berikan cinta yang sama, tapi bentuknya harus dibedakan sesuai kebutuhan,” kata Anna Ariani Surti Psi, psikolog usai media briefing “Inovasi Terbaru Frisian Flag Susu Cair Tepat Usia” di FCone fX, Jakarta, Selasa (10/5/2011).

“Kualitas cinta sama, tapi bentuk berbeda. Setelah itu, anak akan melihat bahwa orangtuanya tidak seperti yang ia sangka,” tambah wanita yang akrab disapa Nina ini.

Dan ketika orangtua bekerja hingga tidak bisa memberikan perhatian penuh, Nina menuturkan, budaya keluarga Indonesia yang melibatkan orang lain dalam pengasuhan anak memiliki nilai positif. Kehadiranextended family bisa mencukupi kebutuhan anak akan cinta.

“Ini uniknya keluarga Indonesia, kita mengasuh anak biasanya tidak sendirian dan bisa menambah kebutuhan cinta untuk anak, entah dari mertua, orangtua, bahkan juga tetangga. Tapi, orangtua tidak boleh menyerahkan anak begitu saja pada orang lain,” tukasnya.

Orangtua punya nilai pengasuhan sempurna menurut pandangannya, tapi ditegaskan Nina, saat pola asuh orang lain dinilai kurang sreg oleh orangtua, ada tindakan bijak yang bisa diambil.

“Kita enggak boleh memaksakan bahwa nilai disiplin yang paling benar adalah menurut nilai kita. Orangtua bekerja harus bijak berpikir bahwa orang lain yang diserahkan untuk mengasuh anak punya bentuk kedisiplinan seperti yang dia tahu. Yang penting, kita tahu bahwa dia menyayangi anak kita. Selebihnya, kita berikan perhatian yang diperlukan anak selepas kita bekerja,” ujarnya.
Sumber  :  Okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar