Minggu, 26 Juni 2011 - 10:16 wib
Pasangan banyak maunya. (Foto: Getty Images)
ANJANI: "Papa gimana sih, katanya Sabtu-Minggu itu hari khusus untuk keluarga, tapi kok malah mau kerja. Pokoknya kita harus jalan sama anak-anak!"
Coba perhatikan satu kata yang dicapkan Anjani: 'pokoknya!'. Tahukah Anda, tanpa sadar hal itu menunjukkan bahwa kita melakukan tuntutan pada orang lain. Dan tanpa sadar, mungkin Anda pun kerap melontarkan kata serupa kepada pasangan, anak, teman, atau saudara.
Kondisi ini bisa menjadi buruk jika terjadi pada pasangan suami-istri, apalagi jika salah satu pihak akhirnya dalam hati mengakui, "Duh, pasanganku memang banyak menuntut!"
Dalam rumah tangga, hubungan yang mulanya adem-ayem bisa goyah jika terus-menerus terjadi konflik. Pemicunya tentu beragam, salah satunya rasa ketidakpuasan karena tuntutan yang tidak terpenuhi.
Seperti kasus Anjani di atas, kesepakatan yang mungkin telah ia dan suami buat di mana akhir pekan merupakan hari keluarga, tidak bisa diganggu gugat. Namun saat kondisi ini tidak terpenuhi, Anjani sulit menerima. Akibatnya, sang suami merasa istrinya kurang pengertian dan terlalu banyak menuntut! Saat menginginkan A harus dipenuhi A, tanpa memberi kesempatan untuk memenuhi dengan cara B, C atau lainnya.
Menilik kasus di atas Drs Arif Nurcahyo, Psikolog dari Polda Metro Jaya Jakarta memberikan pemaparannya.
Menuntut boleh, asal...
Prinsipnya, menuntut atau meminta sesuatu kepada pasangan itu BOLEH, namun dengan berbagai syarat. Misal dalam hal apa suami/istri menuntut, bagaimana tuntutan tersebut memberi kontribusi bagi keluarga.
Artinya, kalau tuntutan itu masih relevan dengan tanggung jawab pasangan dan memberi dampak positif terhadap keluarga, hakikatnya bukan tuntutan tapi mengingatkan kepada pasangan mengenai tanggung jawabnya!
Pasangan juga perlu mempertimbangkan saat yang tepat alias tidak mendadak, bagaimana kekuatan keuangan (jika berkaitan dengan kebutuhan belanja), serta kondisi pasangan secara umum apakah sedang memiliki mood yang baik dan sebagainya.
Nah, bila pasangan Anda melakukan tuntutan tanpa memerhatikan beberapa faktor di atas, bisa jadi dia memang seorang penuntut.
Dampak: Rumah tangga 'kering'
Pribadi penuntut dalam sebuah relasi suami-istri berpotensi memunculkan persoalan, tekanan, pemaksaan kehendak dan relasi yang tidak setara (ada otorisasi yang lebih kuat dan dominan).
Di sisi lain konsep relasi ideal pasangan adalah bersifat setara, komunikatif dan timbal balik. Apabila salah satu pasangan terlalu menuntut akan membahayakan perkawinan dan berpotensi membawa keluarga ke dalam suasana yang tidak sehat, baik secara keuangan atau psikologis.
Akibatnya pribadi yang 'dituntut' akan berada pada tingkat stres tertentu, tertekan, merasa tidak bisa tampil menjadi dirinya, tidak nyaman di rumah, kurang istirahat, atau melakukan perilaku kompensasi (pemurung, uring-uringan) yang semakin membahayakan keutuhan keluarga tersebut. Risiko terburuk, keluarga menjadi berantakan atau bila dipaksakan akan menjadi keluarga yang 'kering' dalam relasi.
Saling memahami
Guna menghadapi masalah ini, kuncinya tetaplah saling memahami dan mengingatkan kembali tanggung jawab pasangan sesuai komitmen yang disepakati. Ingatlah kembali bahwa konsep berkeluarga adalah ekspresi cinta dan rasa saling percaya, kemudian diikat dalam sebuah komitmen (pernikahan) demi mewujudkan pengharapan bersama.
Tip hindari tuntutan masalah keuangan
Tak dapat dipungkiri, urusan finansial menjadi salah satu tuntutan bagi istri. juga berkaitan dengan masalah tuntutan pada pasangan. Contohnya berapa jumlah uang bulanan yang diberikan suami, rumah seperti apa yang diharapkan istri, dan lainnya.
Yang penting diperhatikan, bangunlah kesepakatan yang diawali sharing tentang impian dan keingingan masing-masing, kemudian diskusikan dan negosiasikan menjadi keinginan bersama. Lalu, laksanakan sesuai peran tanggung jawab masing-masing. Tak lupa saling mendukung dan selalu dikomunikasikan. Ikuti tip berikut:
- Merencanakan belanja dan lebih menekankan pada fungsi atau manfaat.
- Mengaudit pengeluaran secara rutin dan membuat skala prioritas kebutuhan.
- Pembelian di atas harga tertentu harus dikomunikasikan bersama pasangan supaya tidak mengganggu stabilitas ekonomi rumah tanga.
- Barang kebutuhan mewah (sekunder) disarankan tidak lebih dari satu untuk dimanfaatkan bersama.
- Saat berjalan-jalan (refreshing) ke Mal, sebaiknya sudah tahu tujuan dan barang yang akan dibeli.(Sumber: Mom&Kiddie)
Coba perhatikan satu kata yang dicapkan Anjani: 'pokoknya!'. Tahukah Anda, tanpa sadar hal itu menunjukkan bahwa kita melakukan tuntutan pada orang lain. Dan tanpa sadar, mungkin Anda pun kerap melontarkan kata serupa kepada pasangan, anak, teman, atau saudara.
Kondisi ini bisa menjadi buruk jika terjadi pada pasangan suami-istri, apalagi jika salah satu pihak akhirnya dalam hati mengakui, "Duh, pasanganku memang banyak menuntut!"
Dalam rumah tangga, hubungan yang mulanya adem-ayem bisa goyah jika terus-menerus terjadi konflik. Pemicunya tentu beragam, salah satunya rasa ketidakpuasan karena tuntutan yang tidak terpenuhi.
Seperti kasus Anjani di atas, kesepakatan yang mungkin telah ia dan suami buat di mana akhir pekan merupakan hari keluarga, tidak bisa diganggu gugat. Namun saat kondisi ini tidak terpenuhi, Anjani sulit menerima. Akibatnya, sang suami merasa istrinya kurang pengertian dan terlalu banyak menuntut! Saat menginginkan A harus dipenuhi A, tanpa memberi kesempatan untuk memenuhi dengan cara B, C atau lainnya.
Menilik kasus di atas Drs Arif Nurcahyo, Psikolog dari Polda Metro Jaya Jakarta memberikan pemaparannya.
Menuntut boleh, asal...
Prinsipnya, menuntut atau meminta sesuatu kepada pasangan itu BOLEH, namun dengan berbagai syarat. Misal dalam hal apa suami/istri menuntut, bagaimana tuntutan tersebut memberi kontribusi bagi keluarga.
Artinya, kalau tuntutan itu masih relevan dengan tanggung jawab pasangan dan memberi dampak positif terhadap keluarga, hakikatnya bukan tuntutan tapi mengingatkan kepada pasangan mengenai tanggung jawabnya!
Pasangan juga perlu mempertimbangkan saat yang tepat alias tidak mendadak, bagaimana kekuatan keuangan (jika berkaitan dengan kebutuhan belanja), serta kondisi pasangan secara umum apakah sedang memiliki mood yang baik dan sebagainya.
Nah, bila pasangan Anda melakukan tuntutan tanpa memerhatikan beberapa faktor di atas, bisa jadi dia memang seorang penuntut.
Dampak: Rumah tangga 'kering'
Pribadi penuntut dalam sebuah relasi suami-istri berpotensi memunculkan persoalan, tekanan, pemaksaan kehendak dan relasi yang tidak setara (ada otorisasi yang lebih kuat dan dominan).
Di sisi lain konsep relasi ideal pasangan adalah bersifat setara, komunikatif dan timbal balik. Apabila salah satu pasangan terlalu menuntut akan membahayakan perkawinan dan berpotensi membawa keluarga ke dalam suasana yang tidak sehat, baik secara keuangan atau psikologis.
Akibatnya pribadi yang 'dituntut' akan berada pada tingkat stres tertentu, tertekan, merasa tidak bisa tampil menjadi dirinya, tidak nyaman di rumah, kurang istirahat, atau melakukan perilaku kompensasi (pemurung, uring-uringan) yang semakin membahayakan keutuhan keluarga tersebut. Risiko terburuk, keluarga menjadi berantakan atau bila dipaksakan akan menjadi keluarga yang 'kering' dalam relasi.
Saling memahami
Guna menghadapi masalah ini, kuncinya tetaplah saling memahami dan mengingatkan kembali tanggung jawab pasangan sesuai komitmen yang disepakati. Ingatlah kembali bahwa konsep berkeluarga adalah ekspresi cinta dan rasa saling percaya, kemudian diikat dalam sebuah komitmen (pernikahan) demi mewujudkan pengharapan bersama.
Tip hindari tuntutan masalah keuangan
Tak dapat dipungkiri, urusan finansial menjadi salah satu tuntutan bagi istri. juga berkaitan dengan masalah tuntutan pada pasangan. Contohnya berapa jumlah uang bulanan yang diberikan suami, rumah seperti apa yang diharapkan istri, dan lainnya.
Yang penting diperhatikan, bangunlah kesepakatan yang diawali sharing tentang impian dan keingingan masing-masing, kemudian diskusikan dan negosiasikan menjadi keinginan bersama. Lalu, laksanakan sesuai peran tanggung jawab masing-masing. Tak lupa saling mendukung dan selalu dikomunikasikan. Ikuti tip berikut:
- Merencanakan belanja dan lebih menekankan pada fungsi atau manfaat.
- Mengaudit pengeluaran secara rutin dan membuat skala prioritas kebutuhan.
- Pembelian di atas harga tertentu harus dikomunikasikan bersama pasangan supaya tidak mengganggu stabilitas ekonomi rumah tanga.
- Barang kebutuhan mewah (sekunder) disarankan tidak lebih dari satu untuk dimanfaatkan bersama.
- Saat berjalan-jalan (refreshing) ke Mal, sebaiknya sudah tahu tujuan dan barang yang akan dibeli.(Sumber: Mom&Kiddie)
Sumber : okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar