Foto: dok. pribadi
BAGAI disambar petir, pidato Presiden SBY pada Selasa (14/6/2011) dalam sidang International Labour Organization (ILO) ke-100 di Swiss yang mendapat apresiasi meriah dengan standing applause tak lagi berarti.
Bukan tanpa alasan, baru empat hari setelah SBY berbicara tentang perlindungan terhadap buruh migran, muncul berita eksekusi mati Ruyati Binti Sapubi. Nasib buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi tersebut, berakhir di tangan para algojo, dihukum mati dengan cara dipancung.
Apa yang dipaparkan Presiden SBY terkait program pemerintah RI dalam memperhatikan nasib TKI di luar negeri, ternyata terbantahkan dengan sendirinya. Dalam pidato di Genewa tersebut, SBY mengatakan bahwa di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap PRT migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya.
Buruh dan Kepentingan Politik
Kasus Ruyati bukanlah yang pertama. Untuk tahun 2011 ini, ancaman eksekusi mati juga pernah terjadi terhadap Darsem binti Daud. Namun Darsem, TKW asal Subang Jawa Barat lolos karena mendapat maaf dari pihak keluarga korban. Darsem akan dibebaskan dari hukum pancung dengan catatan membayar denda Rp4,7 miliar dalam waktu enam bulan, terhitung sejak mendapat pengampunan.
Namun hingga kini, nasib Darsem belum final sebelum penyerahan pembayaran denda tersebut kepada fihak keluarga korban. Pemerintah (eksekutif) pun nampak tidak memiliki itikad untuk menanggulangi tuntutan denda tersebut. Sementara persetujuan Komisi I DPR untuk menanggulangi tebusan Darsem, baru mencuat setelah publik semakin keras mengetuk telinga pemerintah akibat dieksekusinya Ruyati.
Menurut catatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), sejak 1999, 303 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. Sementara itu, sumber lain mencatat, saat ini masih 23 WNI yang mayoritas PRT migran terancam hukuman mati di Saudi Arabia dan ada 345 orang terancam hukuman mati di Malaysia. Jika kinerja pemerintah masih tetap sama dengan sekarang, maka kasus Ruyati bisa jadi terulang kembali.
Angka-angka di atas adalah instrumen yang menunjukkan lemahnya perlindungan buruh migran kita. Berbanding terbalik dengan dengung pidato SBY saat di Swiss, yang nampak adalah tampilan imperior diplomasi Indonesia di hadapan dunia. Tentu rakyat pun malu. Betapa pahlawan devisa hanya dieksploitasi tanpa perlindungan. Presiden SBY nampak mengutamakan standing applause dan pencitraan di mata dunia ketimbang menyelesaikan karut marut persoalan TKI di Arab Saudi, Malaysia, dan sejumlah negara lainnya.
Heboh dan secara reaktif mengungkapkan rasa prihatin seperti reaktifnya pemerintahan SBY terhadap eksekusi Ruyati, tidak dibutuhkan saat berbicara keselamatan jiwa manusia. Seolah nyawa yang telah hilang bisa kembali dengan sekedar rasa prihatin. Pemerintah dengan gayanya selalu saja gayanya yang sering mogok dan butuh dorongan atau bahkan cercaan dari publik untuk bisa bergerak.
Eksekusi terhadap Ruyati hanyalah satu dari rangkaian kegagalan politik perburuhan SBY di antara antrean permasalahan buruh yang tak terselesaikan seperti outsourching, standar upah minimum yang manusiawi, maupun RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kaum buruh biasanya diberi angin segar saat musim kampanye. Janji-janji manis sebagai bagian dari politik eksploitatif.
Pada titik ini, pemerintah nampak selalu enggan ketika berbicara soal kepentingan rakyat kecil jika tidak berkaitan dengan kepentingan politik dan kekuasaannya. Sangat kontras dan berbeda ketika Presiden SBY berbicara tentang kepentingan kelompok dan partainya, tentang kekuasaan yang katanya sedang digoyang, tentang Demokrat yang katanya difitnah.
Lihatlah misalnya saat beredar pesan singkat yang mengatasnamakan dirinya Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Demokrat yang menyatakan akan membongkar sejumlah borok Demokrat. Dengan menggunakan podium resmi negara, Presiden SBY curhat dan menyampaikan uneg-uneg ke rakyatnya.
Relasi Pencitraan?
Seorang pemimpin yang sejatinya memberi rasa aman, menjamin perlindungan dan kenyamanan rakyat, malah menambah derita dan rantai gulita pikiran rakyat yang semakin terdesak oleh berbagai macam kebutuhan. Tak heran jika kemudian ada yang mengatakan bahwa eksekusi Ruyati sengaja dibiarkan untuk membuat kehebohan baru di negeri ini. Agar kasus yang mendera partai besutan SBY bisa diredam dan tensi pemberitaannya menurun.
Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini Nazaruddin yang telah dipecat dari jabatannya sebagai Bendahara Umum Demokrat, mulai melawan dan menyangkutpautkan sejumlah kasusnya kepada elit Demokrat. Di antara orang yang disebut-sebut oleh Nazaruddin turut terlibat yaitu Angelina Sondakh, dan Mirwan Amir yang "memainkan" anggaran Rp191 miliar untuk proyek wisma atlet Palembang. Angelina merupakan Koordinator Kelompok Kerja Badan Anggaran di Komisi Olahraga. Adapun Mirwan menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran. Keduanya sama-sama dari partai Demokrat.
Selain nama-nama tersebut, Nazaruddin juga menyebut-nyebut nama sejumlah petinggi Demokrat lainnya yang berasal dari Tim Pencari Fakta (TPF) yang seolah menyembunyikan kesaksian Angelina soal aliran dana yang telah disampaikan ke TPF. Di antara elit Demokrat tersebut adalah Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah, Max Supacua, Benny Kabur Harman (ketua tim), Edi Sitanggang, Ruhut Sitompul, dan Mahyudin Husin.
Pada tahap ini, Nazarudin merasa dijadikan sebagai objek dan Demokrat ingin cuci tangan melalui pemanggilan KPK kepada Nazaruddin yang telah absen tiga kali. Sebagai orang yang mengetahui banyak dapur Demokrat, dan di sisi lain pemberitaan media terus memojokkan dirinya, tentunya Nazaruddin berupaya melakukan pembelaan dengan menarik sejumlah nama tersebut ke dalam pusaran kasusnya.
Agenda utama Partai Demokrat saat ini tentu memperbaiki citra yang kian terpuruk. Termasuk popularitas pemerintahan SBY yang terus merosot tajam sebagaimana dilansir banyak lembaga survei satu bulan terakhir. Citra yang kian terpuruk karena rating pemberitaan Nazaruddin tak kunjung surut. Presiden SBY dan Demokrat tentu ingin menyelamatkan citra dari bola panas kasus Nazaruddin yang kian liar. Maka tak heran, jika SBY dan Demokratnya resah atas kasus yang berkepanjangan dan kian karut marut ini.
Belum lagi kasus Andi Nurpati, elit Demokrat ini telah dilaporkan kepada Kepolisian oleh Mahfud MD dalam kasus pemalsuan dokumen MK. Kasus Andi Nurpati yang merupakan Ketua Bidang Komunikasi Publik DPP Demokrat, bahkan menjadi stimulus lahirnya Panja “Kursi Haram”.
Panja yang dibentuk untuk menyelidiki dugaan sejumlah kursi ilegal dan haram di DPR ini, menjadi amunisi baru untuk semakin mendelegitimasi citra Demokrat. Seolah-olah ujung bedil sasaran tembaknya diarahkan ke Andi Nurpati dan Partai Demokrat. Sehingga Panja tersebut menjadi sarat dengan kepentingan politik, dan potensi membongkar kasus yang lebih besar dan membahayakan lagi bagi Partai Demokrat.
Jadilah bola panas kasus Demokrat terus menggelinding liar. Bahkan akan semakin liar ketika dimainkan secara politis di DPR melalui Panja “Kursi Haram” seperti kekhawatiran sejumlah pengamat.
Maka tentu logis dan jangan salahkan publik jika ada yang mengait-ngaitkan pembiaran eksekusi mati Ruyati sebagai cara untuk mereduksi badai pergunjingan yang menerjang Demokrat. Karena memang nampak selama ini, elit penguasa hanya sibuk berpolemik soal menyelamatkan citra, soal kekuasaan dan pemilu 2014 yang masih jauh. Imbasnya, bisa-bisa Partai Demokrat juga dieksekusi mati, dipancung oleh politik pencitraannya sendiri. Wallahu’alam!
Sumber : Jusman Dalle.Okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar