Wanita stres (Foto: Google)
TRICHOTILLOMANIA diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi trikotilomania. Trikotilomania merupakan gangguan kesehatan psikologis atau kejiwaan. Istilah ini memang tidak terlalu familiar karena kasusnya terbilang jarang terjadi. Kurang lebih 4 persen dari populasi. Dari beberapa sumber diketahui bahwa hingga saat ini tercatat 0,6 persen atau sebanyak 2,5 juta warga Amerika Serikat mengidap trikotilomania.
Istilah trikotilomania berasal dari bahasa Yunani. Gabungan dari tiga suku kata, yaitu thrix yang berarti rambut, tillein yang berarti menarik dan mania yang berarti kegilaan. Trikotilomania adalah gambaran kondisi kejiwaan dimana orang memiliki kecenderungan menarik rambutnya sendiri.
Menurut dr Andri SpKJ, Psikiater Bidang Psikosomatik Medis dari Rumah Sakit Awal Bros, Tangerang, trikotilomanis merupakan gangguan kejiwaan yang bersifat kronis.
“Trokotilomania adalah gangguan jiwa kronis yang ditandai dengan penarikan rambut berulang, didorong oleh peningkatan ketegangan, dan menyebabkan rambut rontok yang biasanya tidak selalu terlihat oleh orang lain secara objektif,” katanya.
Gangguan kejiwaan ini bisa dialami oleh siapa saja, baik pria maupun wanita. Namun, wanita lebih mudah mengidap trikotilomania a. Kemungkinan pria hanya 10 persen dari kasus trikotilomania yang ada. Dan pada kebanyakan kasus, trikotilomania menyerang para remaja.
Trikotilomania juga biasa disebut trikotilosis atau TTM. Orang dengan trikotilomania memiliki dorongan yang sangat kuat untuk menarik rambut. Tidak hanya rambut di kepala, penderita trikotilomania juga kerap merasakan kepuasan dan kenikmatan setelah mencabut rambut di bagian tubuh yang lain.
“Rambut yang dicabut trikotilomania bisa rambut kemaluan, rambut ketiak, dan sebagainya. Yang penting, rambut,” sambung psikiater yang juga anggota The American Psychosomatic Society ini.
Selain kecenderungan yang kuat untuk menarik rambut berulang-ulang, gejala-gejala lainnya adalah penderita sering kali merasakan peningkatan ketegangan sebelum mencabut rambut atau saat mencoba melawan keinginan mencabut rambut. “Kesenangan, kepuasan, atau lega ketika menarik keluar rambut,” jelasnya.
Bila diperhatikan, penderita trikotilomania kerap meninggalkan jejak buruk terutama pada bagian yang ditumbuhi rambut. Yang sangat jelas adalah kebotakan. Beberapa orang juga terlihat memiliki alis atau bulu mata yang tipis, bahkan tidak ada, karena terlalu sering dicabut. Rambut pada penderita trikotilomania tidak berkembang dengan baik. Sering kali ditemukan helai-helai rambut lama yang rusak ujungnya. Helai-helai rambut patah dengan ujung yang tak rata. Trikotilomania akan menyebabkan pertumbuhan rambut baru dengan ujung meruncing.
Penyebab trikotilomania hingga kini masih belum diketahui. Menurut dr Andri, penyebab trikotilomania sangatlah kompleks, multidimensi. Namun, trikotilomania diyakini berkaitan dengan stress dan depresi. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa perilaku mencabut rambut berhenti saat seseorang meninggalkan lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi.
Hampir seperempat dari kasus trikotilomania, sambung dr Andri, dipicu oleh stres. Parahnya, hampir tidak ada manusia yang luput dari stres.
“Stres bisa karena gangguan dalam hubungan ibu-anak, takut ditinggalkan sendirian, dan kehilangan objek-sebut sebagai faktor kritis kontribusi terhadap kondisi tersebut,” katanya.
Penyebab lainnya ditengarai berasal dari penyelahgunaan zat-zat tertentu yang dapat menstimulasi gangguan ini. Namun, stimulasi yang kuat dari diri sendiri menjadi penyebab yang cukup sulit dicegah.
“Beberapa orang melihat stimulasi diri sendiri sebagai tujuan utama untuk menarik rambut,” imbuhnya.
Apakah trikotilomania cukup membuat penderitanya merasa tidak nyaman. Perilaku mencabut rambut kerap memengaruhi kualitas hidup penderita trikotilomania. “Menurunkan kualitas hidup. Yang pasti mengganggu fungsi pribadi, psikologis, dan sosial,” jelasnya.
Trikotilomania menyebabkan penderita merasa malas. Tidak bisa melakukan fungsi-fungsi pribadinya. Misalnya, orang dengan trikotilomania akan terlihat tak bergairah. Kehilangan minat untuk belajar di sekolah.
Fungsi sosial dan fungsi pribadi seringkali bertindihan. Tindakan mencabut rambut yang tak bisa ditahan juga membuat sebagian penderita merasa malu. Mereka merasa tindakannya adalah kelainan yang tak patut diperlihatkan. Oleh karena itu, banyak penderita trikotilomania yang menutup-nutupi perilakunya. Dengan berbagai cara, mereka berusaha tampil sama dengan orang-orang pada umumnya seperti mengenakan topi untuk menutupi bagian kepalanya yang botak akibat trikotilomania, menggunakan bulu mata palsu, pensil alis, dan memakai rambut palsu.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Menurut dr. Andri, referensi pencegahan terhadap gangguan ini belum banyak. “Kemungkinan dengan tata laksana pada kondisi ketegangan yang dialami bisa membuat hal ini tidak terjadi walaupun tidak semua kondisi ketegangan bermanifestasi dalam kondisi menarik rambut,” jelasnya.
Sampai saat ini, tindakan pengobatan pada trikotilomania sebatas psikoterapi dan pemberian obat-obatan. “Trikotilomania kronis terbukti telah berhasil diobati dengan psikoterapi. Hipnoterapi dan terapi perilaku yang telah disebutkan berpotensi efektif dermatologi dimana faktor-faktor psikologis mungkin terlibat. Kulit telah terbukti rentan terhadap sugesti hipnotis,” jelasnya. Obat-obatan psikofamakologi pada prinsipnya digunakan untuk mengobati gangguan psikodermatologi. Beberapa golongan steroid topikal dan hidroklorida sering digunakan.
Selain itu, ada beberapa teknik perawatan yang terbukti ampuh. “Perawatan dengan terapi perilaku pada banyak kasus bisa mengenali dorongan mencabut rambut sebelum nantinya dorongan tersebut sangat susah dilawan. Penderita bisa belajar untuk melawan dorongan tersebut seperti mengupayakan agar tangan selalu sibuk dengan aktivitas (meremas-remas, merajut sambil menonton televisi, dan sebagainya) pada saat dorongan untuk menarik rambut semakin kuat. Dengan demikian, dorongan tersebut semakin melemah dan tidak tertutup kemungkinan hilang sama sekali.
Sumber : Okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar